Selasa, 08 September 2009

Psikologi dan Agama

Kalau mau bicara ilmu apa yang bisa disetarakan dengan ilmu agama, tak lain adalah ilmu Psikologi (kejiwaan), [...ya ilmu Psikologi... Sepertinya “beberapa orang” mungkin akan mengerutkan dahinya mendengar atau melihat tulisan ini.... Hmm...].

Memang sebenarnya ilmu agama itu sudah mencakupi seluruh ilmu – ilmu lainnya yang dipelajari manusia, tetapi “biasanya” semakin dalam ilmu agama dipelajari maka sudut pandang – sudut pandang lainnya “bisa” terabaikan, mungkin dikarenakan orang yang mempelajarinya memang sangat interest dengan ilmu agama, dan karena tingkat interest yang over ini maka semangat dan ketertarikannya bisa menjadi “over” juga dan membuat pemahaman seseorang terhadap ilmu yang dipelajarinya jadi menyimpang atau sesuai dengan konsep pemikiran yang berkembang pada orang itu (tentu dengan latar belakang kehidupan dan pengalamannya). Begitulah saya memandang masalah ini dari sudut pandang psikologis.

Kembali lagi ke masalah kenapa saya mengatakan ilmu psikologi itu setara dengan ilmu agama, itu karena menurut pandangan saya seseorang yang mempelajari ilmu apapun harus didasari bahwa orang tersebut mempunyai kepribadian yang bagus / menarik, keadaan psikologisnya baik, pola pikir yang baik dan “objektif”, dan tentu juga mempunyai wawasan yang luas. Karena dengan begini penilaian orang terhadap ilmu apapun itu baru bisa menjadi baik.
Menurut pandangan saya, dasar ilmu kehidupan adalah ilmu Psikologi, karena untuk menjadi manusia yang baik atau untuk menjalani hidup yang benar, atau jika seseorang ingin tau apa arti hidup itu sendiri, maka seseorang harus menguasai ilmu ini, ya walaupun ilmu ini lagi-lagi memang sudah ada dalam ilmu agama atau dalam setiap kitab suci agama, namun sepertinya harus tetap dipelajari terpisah dari induknya, pemikiran ini sudah tidak asing lagi karena memang ilmu ini sudah menjadi cabang ilmu tersendiri disekolah2, dan juga banyak buku – buku psikologi yang ditulis dan dijual dimana-mana.
Karena dengan mempelajari ilmu ini secara terpisah dari induknya maka konsep2 atau pandangan2 tentang kebaikan akan menjadi lebih “objektif”, karena tidak terlalu dilatar belakangi dengan culture2 atau mitos2 yang berkembang dari zaman dulu yang sudah dipercaya hingga kini dan masuk dalam wilayah agama lalu kemudian diterjemahkan oleh manusia kedalam konsep2 atau pandangan2 tentang kebaikan, dan kemudian hasilnya bisa menjadi tidak ‘objektif’ dalam sudut pandang psikologi.
Pada dasarnya semua agama mengajarkan ilmu tentang kebaikan, namun karena yang mengembangkan ilmu agama itu bukan sang Illahi melainkan manusia yang masing2 mempunyai cara pandang dan konsep berfikir yang berbeda2 (dalam menerjemahkan kitab suci) sehingga pada prakteknya banyak perbedaan cara pandang terhadap “kebaikan”.
Seorang agamawan islam bergelar ‘aa’ mempunyai cara pandang yang baik tentang kebaikan juga tentang agama karena walaupun dia seorang agamawan tetapi sepertinya dia mempunyai “wawasan psikologis” yang luas, wawasan agama yang luas dan baik, kepribadian yang menarik (yg disebabkan oleh wawasan psikologis luas), dan juga wawasan2 lainnya yang menjadikan pandangan2nya dari sudut pandang agama menjadi baik dan objektif di mata orang, tidak kaku, tidak terlihat fanatic, dan disukai kalangan manapun. karena walaupun penilaian2 dan pandangan2nya dari sisi agama namun sangat bernilai psikologis (yang objektif).
Seseorang yang menguasai bidang tertentu tetap harus mempunyai wawasan yang luas tidak hanya dari bidang yang digelutinya saja, tetapi dari berbagai bidang dan sudut pandang, karena dalam hidup ini ada berbagai hal, berbagai bidang, berbagai ilmu, dan berbagai sudut pandang yang harus kita ketahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar